BERAKHIR?
_________________________________________________________________
Pendahuluan
Sampai pada periode paruh pertama tahun 1997, perekonomian Indonesia
menunjukkan kinerja yang cukup baik yang ditandai dengan menguatnya
beberapa indikator makro ekonomi. Pada tahun 1996 tercatat bahwa
tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8% per tahun dan inflasi pada 5
bulan pertama mampu mencapai tingkat yang terendah selama 10 tahun
terakhir pada periode yang sama. Adapun investasi langsung luar negeri
mencapai $ 6,5 juta pada tahun fiskal 1996/1997, cadangan devisa resmi
pemerintah mencapai $20 juta pada bulan Maret 1997 (cukup untuk 5
bulan impor), sementara tingkat depresiasi rupiah terhadap dolar
Amerika terpelihara pada kisaran 3-5% ( Bank Indonesia, 1997).
Perekonomian Indonesia kemudian mengalami perubahan mendadak setelah
pada pertengahan tahun 1997 muncul masalah yang menghantam perdagangan
valuta asing di kawasan Asia, yang diawali dengan guncangan pasar
valuta asing di Thailand dan kemudian menjalar ke pasar valuta asing
negara-negara lain termasuk Indonesia. Pada akhir periode tahun 1997,
depresiasi riil nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai angka
68.7% (IDE, 1999). Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
tersebut tentunya berdampak negatif terhadap posisi neraca pembayaran,
terutama karena jumlah utang luar negeri makin membengkak dimana pada
tahun 1997 total stok utang luar negeri secara riil telah mencapai
64,2% GDP dan membengkak menjadi 95,3% GDP (World Bank, 1999 diolah
kembali).
Pada saat keseimbangan eksternal tergangggu, terjadi pula
ketidak-seimbangan internal. Kenaikan harga barang-barang sertamerta
memperbesar angka inflasi. Pada akhir tahun 1997 angka inflasi
mencapai 11,1% per tahun dan terus meningkat hingga mencapai 77,6% per
tahun pada tahun berikutnya. Dalam kasus Indonesia, krisis nilai tukar
mata uang rupiah terhadap dolar, terus menular ke sektor-sektor
lainnya hingga menimbulkan krisis ekonomi. Pada akhir tahun 1997,
pertumbuhan ekonomi tahunan (PDB riil) tercatat sebesar 4,7% sedang
pada akhir tahun 1998 turun sebesar 13,2% (Bank Indonesia, 1999).
Dalam usaha mengatasi krisis ekonomi, seyogyanya pemerintah harus
bertindak hati-hati. Karena, selain ingin mencapai target stabilitas
nilai tukar, masih ada beban pencapaian target lain seperti menjaga
agar tingkat inflasi tetap rendah dan mempertahankan tingkat bunga
agar tidak melambung tinggi. Sementara itu, penanganan masalah utang
luar negeri juga masih belum jelas solusinya.
Untuk memperbaiki kondisi perekonomian secara eksternal dan internal,
pemerintah juga sepakat meminta bantuan Internasional Monetary Fund
(IMF). Bantuan yang diberikan oleh IMF mencakup bantuan teknis dan
bantuan dana yang tujuannya adalah mencapai stabilisasi inflasi dan
defisit anggaran. Dengan masuknya campur tangan IMF, diharapkan
langkah kebijaksanaan pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi
semakin terarah dan tidak hanya menekankan pada kebijaksanaan moneter,
tetapi juga kebijaksanaan fiskal; dan yang terpenting adalah
kebijaksanaan sektor riil melalui penyesuaian secara struktural
(structural adjustments).
Krisis ekonomi bisa muncul sebagai dampak negatif dari kebijakan
ekonomi yang kemudian diperburuk oleh kondisi perekonomian dunia.
Pengalaman negara-negara berkembang yang mengalami krisis ekonomi pada
dekade 80-an membuktikan bahwa perubahan harga dunia seringkali
menyebabkan munculnya defisit dalam neraca pembayaran (balance of
payment) suatu negara, dan pengeluaran yang berlebihan akan mendorong
inflasi, dalam kondisi produksi juga mengalami kemacetan (Krueger,
1995).
Secara teoretis, kebijakan ekonomi di negara-negara sedang berkembang
muncul karena adanya asumsi bahwa pasar gagal melaksanakan fungsinya
(market failure) sehingga dibutuhkan intervensi pemerintah. Namun
menurut Weiss (1995), jika kebijakan pemerintah tersebut tidak
diarahkan dengan baik maka justru akan mendorong munculnya kegagalan
pemerintah (government failure).
Benarkah anggapan bahwa krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia
merupakan dampak negatif dari kebijakan ekonomi yang kemudian
menimbulkan ketidakseimbangan internal dan eksternal? Bagaimana peran
IMF dengan paket-paket standarnya dapat mengatasi krisis ekonomi? Apa
implikasi kebijakan IMF bagi perekonomian Indonesia? Bersumber dari
pertanyaan-pertanyaan inilah maka tulisan ini akan diawali dan
diharapkan menjadi bahasan yang sangat menarik untuk diteliti. Secara
spesifik, tulisan ini akan membahas krisis ekonomi dalam kerangka
teoretis Two Gap Model yang kemudian dikaitkan dengan peran IMF dalam
mengatasi krisis dengan paket stabilisasinya sebagaimana yang telah
dilakukan di berbagai negara lain. Tulisan ini akan ditutup dengan
pembahasan tentang implikasi program IMF terhadap kebijakan ekonomi
Indonesia.
Utang Luar Negeri: Tinjauan Teoretis atas Kesenjangan Tabungan dan
Investasi
Pembahasan tentang utang luar negeri dalam artikel ini akan dijelaskan
dengan kerangka teori Two Gap Model yang menunjukkan bahwa defisit
pembiayaan investasi swasta terjadi karena Tabungan lebih kecil dari
Investasi (I-S = resource gap), dan defisit perdagangan disebabkan
karena Ekspor lebih kecil dari Impornya (X-M = trade gap). Disamping
itu, masih ada defisit dalam anggaran pemerintah karena penerimaan
pemerintah dari pajak lebih kecil dari pengeluaran pemerintah (T-G =
fiscal gap). Hubungan antara defisit investasi swasta , defisit
anggaran pemerintah, dan defisit perdagangan dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Pendapatan nasional (Y) dari sisi pengeluaran merupakan penjumlahan
dari Pengeluaran Konsumsi Swasta (C),
Pengeluaran Investasi swasta (I), Pengeluaran Pemerintah (G) dan
Ekspor bersih (X-M) atau:
Y = C + I + G + X - M ............. (1)
Pendapatan nasional (Y) dari sisi alokasi penggunaan merupakan
penjumlahan dari Konsumsi masyarakat (C), Tabungan (S) dan Pajak (T)
atau:
Y = C + S + T ......................... (2)
Dari persamaan (1) dan (2) akan menghasilkan persamaan identitas
defisit, yaitu bahwa defisit Perdagangan (X-M) sama dengan defisit
Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah (T-G) ditambah defisit Tabungan
dan Investasi Swasta (S-I) atau:
(X-M) = (T-G) + (S-I) ............. (3)
Untuk persamaan (3) bisa saja terjadi hubungan kausal dalam arti jika
terjadi ketidakseimbangan internal yakni pada sektor pemerintah
dan/atau sektor swasta, akan mengganggu keseimbangan eksternal yakni
pada sektor perdagangan. Jika diasumsikan bahwa ekspor dan impor
mencakup barang dan jasa, maka pengertian defisit perdagangan akan
lebih diarahkan pada defisit dalam transaksi berjalan.
Dengan kerangka Two Gap Model di atas tersirat bahwa bila suatu negara
berada dalam keadaan dimana neraca transaksi berjalannya mengalami
ketidakseimbangan, maka dibutuhkan aliran modal masuk (capital
inflows). Namun, jika suatu negara yang menghadapi masalah defisit
neraca transaksi berjalan dan menggunakan aliran modal masuk sebagai
jalan keluarnya, maka seharusnya negara tersebut juga menyiapkan
kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk menurunkan defisit tersebut.
Semakin banyak restriksi dan kontrol, akan semakin sulit bagi suatu
negara untuk menurunkan defisit. Jika suatu negara sudah melakukan
tight money policy, menerapkan kebijaksanaan fiskal dan melakukan
kontrol atas tarif dan impor, tetapi masih mengalami defisit neraca
pembayaran, maka akan semakin sulit mengatasinya (Sodersten, 1980).
Pinjaman luar negeri akan menimbulkan masalah jika dana tersebut tidak
diinvestasikan secara produktif untuk kegiatan-kegiatan yang
menghasilkan tingkat pengembalian devisa yang tinggi untuk menutupi
pembayaran bunga. Krisis utang dunia yang terjadi pada dekade 80-an
menjadi bukti bahayanya pembiayaan melalui utang luar negeri dimana
banyak negara terpaksa menunda kewajiban membayar utang (Weiss, 1995).
Pengaruh eksternal bukan satu-satunya penyebab krisis, kebijaksanaan
pemerintah yang tidak terarah juga bisa dianggap mempunyai pengaruh
terhadap krisis ekonomi (Gillis et.al, 1996). Gairah untuk mencapai
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang banyak mempengaruhi
kebijaksanaan pemerintah melalui peningkatan pengeluaran pemerintah,
sehingga menimbulkan defisit anggaran yang semakin membesar. Dalam
kondisi perekonomian yang tidak stabil, investor swasta menanamkan
dananya pada usaha-usaha nonproduktif, seperti tanah, atau
menginventasikannya di luar negeri yang menimbulkan defisit eksternal.
Kebijakan Ekonomi dan Pengalaman Negara-negara Berkembang yang
Tertimpa Krisis Ekonomi
Era tahun 1980-an merupakan masa-masa sulit bagi beberapa negara
berkembang di dunia. Diawali dengan kenaikan harga minyak tahun 1979,
perekonomian dunia mengalami resesi yang disertai dengan penurunan
harga barang, kenaikan tingkat bunga dan kontraksi perdagangan
internasional. Hal-hal tersebut menyebabkan menurunnya kemampuan
negara-negara untuk membayar utang, sehingga timbul krisis utang
dunia. Krisis utang ini kemudian menurunkan pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan debt service ratio. Krisis muncul karena adanya dampak
dari kebijaksanaan ekonomi, walaupun juga diperburuk oleh kondisi
perekonomian dunia (Krueger, 1995).
Mexico pada tahun 1982 merupakan negara pengekspor minyak, sejak 10
tahun sebelumnya penerimaan dari minyak terus meningkat. Namun,
peningkatan penerimaan tersebut diiringi juga dengan peningkatan utang
luar negeri, akibatnya muncul ketidakseimbangan dalam neraca
pembayaran. Kelemahan pemerintah Mexico adalah terus meningkatkan
pengeluarannya dan mengabaikan produktivitas. Krisis muncul sebagai
akibat kekeliruan dalam kebijakan ekonomi yang kemudian didukung oleh
kondisi perekonomian dunia yang memburuk.
Lain halnya dengan Turki yang melakukan program reformasi ekonomi pada
awal tahun 1980, setelah GDP riil diperkirakan akan menurun selama
lebih dari 2 tahun dan inflasi mencapai lebih dari 100% per tahun.
Namun, pembatasan impor terutama bahan bakar minyak menyebabkan
problem transportasi, distribusi hasil panen terganggu dan
pabrik-pabrik yang mengandalkan bahan baku impor terpaksa menurunkan
kapasitasnya hingga 50%.
Pada tahun 1984, produksi dan ekspor coklat Ghana menurun drastis
bersamaan dengan peningkatan laju inflasi yang mencapai lebih dari
100%, ke-kurangan devisa men-capai ting- kat yang kronis, standar
kehidupan pun menu-run tajam. Tahun 1987-1988, Peru me-ngalami
penurunan GNP riil sekitar 10%, sedangkan inflasi mencapai 3500% per
tahun. Argentina juga menghadapi besarnya defisit neraca pembayaran
dan defisit fiskal.
Krueger (1995) melihat adanya kesamaan diantara negara-negara yang
terkena krisis, pada umumnya kebijaksanaan ekonomi di negara-negara
tersebut berorientasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
(rapid economic growth), tetapi iklim perekonomian yang ada tidak
diciptakan untuk mendukung ke arah itu. Contoh konkretnya adalah
negara yang melakukan restriksi impor lebih banyak disebabkan karena
sebagaian besar kinerja perusahaan-perusahaan domestik tidak efisien,
harga barang-barang di dalam negeri terdistorsi sehingga tidak
memiliki daya saing di pasar internasional. Terbatasnya tabungan
domestik dan adanya peluang untuk memanfaatkan sumber dana dari luar
negeri menyebabkan pemerintah maupun investor swasta terlalu
mengandalkan pinjaman luar negeri dalam rangka membiayai investasinya.
Dalam jangka pendek, pemanfaatan tabungan luar negeri tersebut tidak
menimbulkan dampak inflasi, tetapi dalam jangka panjang akan
menimbulkan masalah yang serius dalam suplai uang domestik. Investasi
pemerintah umumnya dilakukan untuk membangun infrastuktur untuk
mendukung investasi swasta, tetapi jika investasi tersebut tidak
menghasilkan tingkat pengembalian yang layak, sementara tingkat bunga
utang luar negeri tetap harus dibayar akan memberi tekanan untuk
meningkatkan suplai uang.
Paket Reformasi Ekonomi IMF
IMF dan Bank Dunia merupakan lembaga yang muncul sebagai hasil
beberapa konferensi yang bertujuan untuk membangun dan mengelola
perekonomian pasca perang dunia kedua. IMF dirancang untuk membantu
negara-negara anggota mencapai stabilitas moneter dengan menghindari
devaluasi kecuali dalam keadaan darurat, dan meningkatkan perdagangan
bebas dengan memberikan pinjaman jangka pendek untuk negara-negara
yang mengalami masalah neraca pembayaran. IMF merupakan counterpart
dari GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang targetnya
adalah mendorong negosiasi penurunan hambatan perdagangan. Tidak
seperti Bank Dunia, IMF pada hakikatnya bukan lembaga bantuan, hanya
merupakan kumpulan negara-negara donor. Negara anggota memiliki kuota
untuk sejumlah dana tergantung besarnya ukuran perekonomian dan negara
anggota diijinkan untuk menarik dana cadangan.
Menurut Reynolds (dalam Osterfeld, 1992), setelah adanya krisis Mexico
tahun 1982, IMF membuat paket standar yang merupakan policy
requirement sebagai syarat untuk menerima bantuan pinjaman, yakni:
1. melakukan devaluasi mata uang untuk mengatasi masalah neraca
pembayaran;
2. membatasi jumlah kredit dan menurunkan defisit sektor publik, yang
keduanya bertujuan untuk menahan inflasi dengan menurunkan
permintaan domestik;
3. menghilangkan restriksi dalam perdagangan luar negeri dan
perpindahan modal (capital movements) yang ditujukan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi melalui perdagangan.
Program stabilisasi IMF menunjukkan respons terhadap adanya
ketidakseimbangan perekonomian secara makro (Weiss, 1995). IMF melalui
paket bantuan teknisnya menekankan pada upaya mengawasi suplai kredit
domestik, utamanya adalah membatasi kredit domestik. Pembatasan
pertumbuhan suplai uang bertujuan untuk memperbaiki neraca pembayaran
(menurunkan ketidakseimbangan eksternal) dan menurunkan inflasi
domestik (menurunkan ketidak-seimbangan internal). Model ini
menggunakan asumsi bahwa neraca pembayaran merupakan fenomena moneter,
karena uang yang beredar di dalam negeri dapat berasal dari luar
(cadangan devisa) atau dalam negeri (kredit domestik), sehingga
analisis akan didasarkan pada hubungan antara kedua komponen dalam
penawaran uang tersebut.
Berdasarkan definisi, stok uang domestik (D Ms) merupakan penjumlahan
dari perubahan cadangan devisa (D R) dan kredit domestik (D D),
sehingga:
D Ms = D R + D D ............... (4)
Perubahan permintaan uang (D Md) merupakan fungsi dari perubahan dari
pendapatan nominal (D Y) maka:
D Md = k. D Y ............... (5)
dimana k = 1/v dan v adalah kecepatan perputaran uang.
Dalam kondisi keseimbangan, permintaan uang = penawaran uang dengan
demikian:
D Ms = D Md ............... (6)
Dengan mengkombinasikan persamaan (5) dan (6) maka:
D R = k. D Y - D D .............. (7)
Persamaan (7) menunjukkan bahwa cadangan devisa ditentukan berdasarkan
selisih antara perubahan permintaan uang domestik dan perubahan kredit
domestik. Implikasinya adalah setiap ada kelebihan ekspansi moneter
maka perusahaan dan rumah tangga akan mengeluarkan kelebihan money
balances-nya. Jika pengeluaran tersebut adalah untuk barang-barang
yang tidak diperdagangkan (non traded goods) maka akan meningkatkan
tingkat harga, tetapi jika pengeluaran tersebut untuk barang-barang
yang diperdagangkan (traded goods) akan menurunkan cadangan devisa.
Model ini kemudian dapat diperluas dengan menghubungkan antara
ekspansi kredit dalam negeri dengan pengeluaran agregat. Pengeluaran
domestik (C+I+G) seperti pada persamaan (1) biasa dinyatakan sebagai
absorpsi domestik (A), sementara itu pengeluaran total (E) merupakan
penjumlahan antara pengeluaran domestik (A) dengan Ekspor-Impor (X -
M) sehingga:
E = A + (X - M) ........... (8)
Berdasarkan definisi, pendapatan nasional (NI) = pengeluaran total (E)
atau NI = E maka:
NI - A = X - M ............... (9)
Current Account mencapai keseimbangan jika terjadi perubahan cadangan
devisa (DR) dan perubahan arus modal masuk (DF), maka:
X - M = DR - DF............ (10)
Dengan mensubstitusikan persamaan (7 ) ke persamaan (10) maka:
X - M = (k. D Y - D D) - DF .......(11)
Kemudian mengkombinasikan persamaan (9) dengan persamaan (11)
diperoleh:
NI - A + DF = D Md - D D ...... (12)
Perubahan dalam pendapatan nominal (DY) dapat dipecah menjadi efek
pendapatan riil dan perubahan harga yakni:
DY = y DP + P Dy ........ (13)
dimana y adalah pendapatan riil dan P adalah tingkat harga.
Dengan mensubstitusikan persamaan (13) ke persamaan (7) maka
diperoleh:
DR = k (y DP + P Dy) - DD ....... (14)
atau
DD = k y DP + k y Dy - DR ....... (15)
Persamaan (15) menunjukkan bahwa perubahan dalam jumlah kredit akan
mempengaruhi harga, pendapatan riil dan neraca pembayaran. Jika
perubahan pendapatan = 0 maka tidak akan ada output yang hilang karena
adanya restriksi kebijakan moneter. Kelemahan dari model dengan laju
pertumbuhan ekonomi = 0 ini masih dianggap tidak realistik, karena
dampak pengetatan moneter terhadap pendapatan riil akan menurunkan
pengeluaran konsumen secara agregat, serta akan meningkatkan biaya
modal kerja sebagai akibat dari meningkatnya suku bunga dan menurunnya
investasi swasta.
Gillis et.al. (1996) juga memandang bahwa program IMF merupakan paket
stabilisasi inflasi dan defisit anggaran. Tujuan utama program ini
adalah menurunkan defisit anggaran pemerintah dan membatasi kredit
domestik yang membawa pengaruh pada pertumbuhan penawaran uang. Kedua
kebijakan tersebut menurunkan tingkat absorpsi perekonomian dan
menggeser ke posisi yang mendekati keseimbangan eksternal dan
internal.
Pada Gambar 1 ditunjukan bahwa pada titik 1 suatu negara mengalami
ketidakseimbangan eksternal dan internal. Titik 2 adalah kondisi
terciptanya kesimbangan eksternal dan internal dimana kurva IB
(Internal Balance) memotong kurva EB1 (External Balance) yakni pada
tingkat Absopsi A2 dan tingkat nilai tukar riil P2. Paket pemulihan
ekonomi IMF berupaya menurunkan tingkat absorpsi agar menjauhi titik 1
dan mendekati titik kese-imbangan eksternal dan internal. Paket
bantuan teknis IMF ini juga dapat disertai dengan devaluasi nilai
tukar mata uang secara riil (real exchange rate = e), yang
keputusannya tergantung seberapa jauh letak titik 1 terhadap titik 2.
Paket bantuan IMF ditunjukkan dengan upaya menurunkan absorpsi (DA)
yang disertai pula dengan devaluasi nilai tukar mata uang (D e).
Selain bantuan teknis, IMF juga memberikan bantuan dana yang tidak
hanya berasal dari IMF itu sendiri tetapi juga dari Bank Dunia atau
negara-negara donor lainnya. Bantuan dana tersebut bertujuan untuk
meningkatkan kapasitas perekonomian untuk membeli barang-barang yang
dapat diper-dagangkan (tradeables) yang akan menggeser kurva EB ke EB2
dan mengubah keseimbangan pada titik 3, yakni titik keseimbangan
eksternal dan internal yang baru. Pada Gambar 1 terlihat bahwa de-ngan
ada- nya dana bantuan maka akan menurun-kan upaya penghe-matan yang
mana ting-kat absorp- si adalah pada A3 bukan A2 , dan mengurangi
kebutuhan untuk melakukan devaluasi nilai tukar. Walaupun tidak
tertutup kemungkinan bahwa devaluasi tetap dilakukan sebagai syarat
untuk mencapai titik 3.
wpe1.jpg (12957 bytes)
Analisis Utang Luar Negeri Indonesia
Gairah negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam beberapa
tahun terakhir untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi agar
tetap tinggi melalui peningkatan Investasi mendorong peningkatan
kebutuhan sumber dana dari luar negeri. Alasan mendasar dibutuhkannya
utang luar negeri adalah karena tabungan domestik tidak mencukupi,
yang menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk memobilisasi dana
domestik sejak tahun 1983 tidak pernah mampu mengimbangi besarnya
kebutuhan dana untuk investasi. Kesenjangan antara tabungan dalam
negeri baik pemerintah dan swasta, menyebabkan utang luar negeri dan
penanaman modal asing merupakan suatu "keharusan" bagi pembiayaan
investasi.
Bank Dunia membuat proyeksi bahwa dalam periode tahun 1994-2000
walaupun kesenjangan Tabungan-Investasi pemerintah cenderung terus
mengecil, kesenjangan Tabungan-Investasi swasta cenderung membesar.
Gambar 2 dan 3 berikut ini memberi petunjuk adanya kesenjangan antara
Tabungan dan Investasi (Saving-Investment Gap) yang dinyatakan sebagai
persentase dari Produk Domestik Bruto (GDP), baik pemerintah maupun
oleh swasta.
wpe3.jpg (11066 bytes)
wpe4.jpg (12740 bytes)
Utang luar negeri pemerintah dibutuhkan untuk membiayai defisit
anggaran. Di dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), Total Penerimaan adalah Penerimaan Dalam Negeri ditambah
dengan Penerimaan Pembangunan; sedangkan Total Pengeluaran adalah
Pengeluaran Rutin ditambah dengan Pengeluaran Pembangunan. Anggaran
pemerintah yang menunjukkan defisit menunjukkan bahwa kekurangan dana
pembangunan (Pengeluaran Pemerintah) ditutup dengan utang luar negeri
(Penerimaan Pembangunan). Perkembangan utang luar negeri pemerintah
menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Sekalipun pada
tahun-tahun sebe- lum krisis ekonomi terjadi keli-hatannya Indonesia
tidak mem-punyai masalah dalam creditworthy yang tercermin dari makin
meningkatnya utang luar negeri, pembiayaan defisit anggaran defisit
investasi swasta melalui foreign borrowing tidak lepas dari bahaya.
Utang menjadi beban dalam jangka panjang sehingga dibutuhkan devisa
dalam jumlah besar untuk menjamin bahwa bunga dan cicilan utang
tersebut dapat dibayar.
Tingginya tingkat bunga di dalam negeri mendorong para investor swasta
untuk mencari dana luar negeri yang dianggap "murah". Besarnya utang
luar negeri swasta semakin membengkak seiring dengan meningkatnya
Investasi. Sementara itu para investor swasta dalam melakukan
peminjaman dana luar negeri tidak mempertimbangkan fundamental ekonomi
makro yang sesungguhnya telah memberi isyarat kurang baik seperti
defisit neraca transaksi berjalan yang menunjukkan peningkatan dari
tahun ke tahun. Kemungkinan munculnya ancaman dari luar (external
shocks) seperti perubahan nilai tukar mungkin juga tidak disadari
sejak awal. Dana yang dipinjam pihak swasta pada umumnya menggunakan
tingkat bunga komersial yang jelas lebih tinggi dari tingkat bunga
pinjaman pemerintah dan jangka waktu yang relatif lebih pendek. Namun
ada kelemahan dari sistem devisa bebas yang dianut, yaitu pemerintah
tidak bisa memperoleh data akurat mengenai besarnya pinjaman swasta
karena tidak adanya kewajiban melapor. Dengan total utang sebesar US$
109.3 miliar pada akhir tahun 1996/97 dimana 51,2% diantaranya adalah
utang swasta sudah cukup untuk membuat perekonomian terganggu bila
terjadi external shocks dalam bentuk depresiasi nilai tukar. Sementara
cadangan devisa resmi yang dimiliki oleh pemerintah hanya mencapai
sekitas US $ 20 miliar (Bank Indonesia 1996/97).
Secara umum kondisi neraca pembayaran mencerminkan aktivitas
permintaan dan penawaran devisa. Pembiayaan transaksi berjalan dapat
dilakukan dengan (a) perubahan aktiva luar negeri neto dan (b)
perubahan pasiva luar negeri neto. Perubahan aktiva neto berarti
pertambahan aktiva luar negeri dan aliran modal masuk jangka panjang.
Pertambahan aktiva luar negeri menjadikan bertambahnya cadangan devisa
resmi, bertambahnya cadangan devisa bank komersial, dan pelarian
modal. Sedangkan perubahan pasiva luar negeri berarti perubahan utang
luar negeri, pencairan utang-utang luar negeri, dan perubahan cicilan
pokok utang luar negeri. Berarti utang luar negeri dan penanaman modal
asing jangka pendek (Foreign Direct Investment = FDI dan portfolio)
merupakan sumber dana untuk membiayai defisit neraca berjalan,
kebutuhan untuk menambah devisa, dan arus modal keluar.
Tabel 1. Sumber dan Penggunaan Dana Luar Negeri (milyar dolar AS)
wpe8.jpg (23437 bytes)
Berdasarkan data pada Tabel 1 di atas, Bank Dunia sudah
memperhitungkan bahwa perkiraan defisit transaksi berjalan Indonesia,
termasuk pembayaran bunga utang luar negeri, seluruhnya dibiayai oleh
Aliran Modal Masuk. Dengan demikian, pembayaran cicilan pokok utang
luar negeri dibiayai sepenuhnya oleh utang baru bukan dari ekspor
neto. Adapun bagian dari utang luar negeri yang digunakan untuk
menambah cadangan devisa tidak dapat digunakan untuk meningkatkan
kapasitas perekonomian, padahal bunga utang tersebut harus terus
dibayar.
Berbaurnya antara kerapuhan fundamental ekonomi Indonesia yang
ditandai dengan peningkatan defisit transaksi berjalan dan perubahan
lingkungan ekonomi dunia dapat dijadikan alasan sebagai faktor yang
mendorong timbulnya krisis ekonomi. Defisit transaksi berjalan yang
terus meningkat yang dibiayai oleh aliran modal asing memaksa kita
untuk terus meningkatkan ketergantungan dana pada pihak asing.
Sementara upaya memobilisasi dana dalam negeri tidak didukung oleh
sektor keuangan yang efisien. Adanya peluang untuk memperoleh pinjaman
luar negeri pun tidak diimbangi dengan pe-ningkatan produksi barang
yang diper-dagangkan. Hal ini me-nunjukkan bahwa dana luar negeri
tersebut tidak diiinvestasikan pada sektor-sektor yang menghasilan
tingkat pengembalian devisa yang tinggi untuk menutupi pembayaran
bunga dan cicilan utang. Ekspor barang dan jasa pada harga konstan
pada tahun 1996/97 diperkirakan mencapai 110.057,9 miliar rupiah,
meningkat 6.2% dari tahun sebelumnya. Sementara, impor barang dan jasa
mencapai 131.659,9 miliar rupiah meningkat 9.6% dari tahun sebelumnya.
Dampak dari pesatnya aliran modal asing sudah terlihat pada laju
inflasi yang cenderung meningkat, dan asumsi bahwa dalam jangka
panjang aliran modal asing akan menyebabkan perkonomian mengalami
overheating terbukti. Sementara kekeringan yang berkepanjangan pada
periode sebelumnya juga akan memaksa harga-harga bahan pangan, yang
merupakan komponen utama inflasi, mengalami kenaikan.
Paket Pemulihan Ekonomi IMF dan Implikasi Kebijaksanaan
Paket bantuan yang akan diberikan kepada Indonesia untuk mengatasi
krisis ekonomi merupakan upaya menstabilkan keseimbangan eksternal dan
internal, baik melalui bantuan teknis maupun bantuan dana. Reformasi
yang diisyaratkan oleh IMF tersebut seharusnya dituangkan dalam
berbagai kebijaksanaan yang sifatnya konsisten tetapi realistis.
Paket bantuan teknis IMF berupaya mengawasi suplai kredit domestik
untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan, yang berarti memperbaiki
ketidakseimbangan eksternal. Sedangkan upaya stabilisasi harga dapat
diartikan sebagai langkah perbaikan ketidakseimbangan internal. Asumsi
yang digunakan oleh IMF adalah perubahan jumlah uang beredar
ditentukan oleh jumlah perubahan cadangan devisa dan perubahan kredit
domestik. Cadangan Devisa pemerintah yang dinyatakan bernilai sekitar
20 milyar dolar AS dengan demikian ditentukan oleh besarnya selisih
antara perubahan permintaan uang domestik dan perubahan kredit
domestik. Dengan adanya ekspansi moneter, perusahaan dan rumah tangga
akan mengeluarkan kelebihan uangnya yang diasumsikan hanya diarahkan
untuk membiayai barang-barang yang diperdagangkan (tradeable goods),
bukan untuk barang-barang yang tidak diperdagangkan (non tradeable
goods). Dana bantuan IMF yang akan diberikan kepada pemerintah
Indonesia pun seyogyanya untuk meningkatkan kapasitas perekonomian
melalui pembelian barang-barang yang diperdagangkan.
Dengan adanya bantuan teknis dan bantuan dana dalam bentuk devisa dari
IMF, seharusnya dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin mengingat
krisis yang berkepanjangan akan membawa dampak negatif bagi semua
pihak. Kesejahteraan rakyat akan menurun drastis melalui peningkatan
inflasi. Padahal, dalam kondisi perekonomian yang lesu pengangguran
meningkat, dan di pihak lain kepercayaan dunia terhadap perekonomian
Indonesia juga akan menurun, yang membawa dampak pula bagi
kelangsungan investasi di Indonesia.
Reformasi kebijaksanaan yang harus dilakukan oleh pemerintah bersama
rakyat semestinya mengacu tahap (sequence) yang pernah dikembangkan
berdasarkan Harberger Rules, Washington Concensus dan Structuralist
Synthesis yang pada prinsipnya adalah sebagai berikut:
1. Kebijaksanaan yang ditujukan untuk menstabilkan perekonomian
secara makro terutama dalam penurunan defisit anggaran pemerintah,
penanggulangan inflasi dan penyesuaian nilai tukar.
2. Reformasi dalam pasar barang dan pasar tenaga kerja dengan
menghilangkan sumber distorsi harga seperti pengontrolan atas
harga dan upah serta menghilangkan subsidi.
3. Reformasi pajak yang mendorong peningkatan sumber penerimaan dalam
negeri tanpa menurunkan kesejahteraan rakyat miskin.
4. Reformasi Perdagangan yang menghilangkan kuota dan penurunan
tarif, serta pencabutan perlakuan-perlakuan khusus bagi
perusahaan-perusahaan tertentu.
5. Liberalisasi keuangan domestik dengan menghilangkan restriksi
dalam kegiatan bank-bank komersial yang mendukung berjalannya
sektor keuangan yang efisien.
6. Liberalisasi keuangan eksternal dengan menghilangkan kontrol atau
segala bentuk hambatan aliran modal asing untuk tujuan investasi.
Penutup
Utang luar negeri dan penanaman modal asing dibutuhkan untuk membiayai
investasi pemerintah (G) dan swasta (I) yang kebutuhan dananya tidak
dapat disediakan dari mobilisasi dana dalam negeri, baik yang
bersumber dari pajak (T) maupun tabungan masyarakat (S). Investasi
yang dilakukan oleh pemerintah terutama swasta terus meningkat.
Sementara, besarnya pajak (T) dan tabungan domestik (S) yang tidak
mampu mengimbanginya menimbulkan dampak pada defisit investasi swasta
(I-S) dan defisit anggaran pemerintah (T-G). Di samping itu, defisit
neraca berjalan (X-M) juga terkena dampaknya melalui pengelolaan utang
yang tidak bijaksana.
Krisis ekonomi muncul sebagai dampak dari kebijaksanaan yang tidak
terarah disamping dipengaruhi juga oleh situasi perekonomian dunia.
Program stabilisasi perekonomian dengan model IMF bisa memberikan
dampak positif dalam upaya pemulihan apabila dilakukan dengan
konsisten dan realistis. Namun, program tersebut bisa juga membawa
dampak negatif bila asumsi-asumsi yang mendasari program tersebut
terabaikan. Berbagai implikasi kebijakan dari masuknya program IMF
menuntut agar reformasi dilaksanakan secara total dengan memperbaiki
stabilitas ekonomi makro serta menghilangkan hambatan-hambatan di
keuangan, perdagangan dan investasi.
Referensi
Bank Indonesia. (1997). Laporan Tahunan.
Bank Indonesia. (1999). Laporan Tahunan.
Gillis, et.al. (1996). Economics of Development 4th ed. New York: WW
Norton Company.
IDE. (1999). Asian Economics Crisis 97/98 Issues in Macroeconomic
Imbalances, Capital Outflows and Financial Crisis. March. Tokyo:
IDE-Jetro.
Kruger, A. (1995). Political Economy of Policy Reform in Developing
Countries. Massachusetts: MIT Press.
Osterfeld, D. (1992). The World Bank and the IMF: Misbegotten Sisters
dalam Peter J. Boettke (ed.). The Collapse of Development Planning.
New York: New york university Press.
Sodersten, B. (1980). International Economics. 2nd ed. New York: St.
Martin Press.
Weiss, J. (1995). Economic Policy in Developing Countries: The Reform
Agenda. London: Prentice Hall Harvester Wheatsheaf.
World Bank. (1997). Indonesia: Sustaining Growth with Equity. Report #
16433 - IND. World Bank Country Department III. East Asia and Pacific
Region.
World Bank. (1999). Global Development Finance.