Senin, 14 Februari 2011

Integrasi Ekonomi Dalam Negeri dan Krisis Global


Aris  Ananta
SEPUTAR    INDONESIA, 25  Mei 2010
BANYAK krisis ekonomi dunia yang bermula dari krisis keuangan. Bukan tidak mungkin bahwa krisis keuangan di Eropa saat ini juga dapat diikuti krisis ekonomi. Kalau krisis keuangan di Eropa berkelanjutan, ekonomi Eropa akan menghadapi masalah. Akibatnya, impor dari Eropa akan menurun.
Negara yang banyak mengekspor ke kawasan itu juga akan ikut terganggu. Misalnya, China yang akan mengalami dampak besar karena banyak mengekspor ke Eropa. Keadaan ini dapat terus “menular”. Indonesia pun dapat terkena dampak krisis di Eropa ini melalui penurunan ekspor, baik yang secara langsung ke Eropa maupun ke negara lain yang banyak mengekspor ke Eropa.
Dalam krisis ekonomi global 2008-2009 lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk salah satu yang terbaik di dunia. Meski begitu, pertumbuhan ekonomi menurun karena ekspor yang juga menurun. Indonesia dapat bertahan dari krisis antara lain karena tidak terlalu bergantung pada ekspor.  Sektor ekonomi dalam negeri telah membantu Indonesia bertahan dari dampak krisis.
Singapura adalah salah satu negara yang perekonomiannya terpukul akibat krisis tersebut. Ini karena ekonomi Singapura yang sangat bergantung pada ekspor (export driven economy). Namun, sekarang Singapura juga telah mulai mengubah strategi dari perekonomian yang didorong ekspor.
Singapura sesungguhnya salah satu negara yang sering dijadikan sebagai contoh keberhasilan model ekonomi yang didorong ekspor. Namun, krisis ekonomi global telah menyadarkan banyak negara, termasuk Singapura, untuk mencari model lain dan tidak terlalu menggantungkan pada ekspor. Indonesia diuntungkan dengan luas wilayah dan besarnya jumlah penduduk. Ekonomi dalam negeri Indonesia amat potensial untuk mendorong pembangunan ekonomi.
Indonesia sebagai negara besar, kurang bergantung pada kebutuhan ekspor. Selain itu, banyak negara telah mengincar Indonesia sebagai pasar dan lokasi produksi yang menarik. Indonesia misalnya juga telah diincar oleh banyak negara sebagai lokasi untuk menghasilkan pangan untuk menjamin kebutuhan pangan di negara-negara yang tidak memiliki tanah yang subur.
Maka sangat tepat jika pemerintah kini memberi prioritas tinggi pada integrasi perekonomian dalam negeri.  Memanfaatkan pasar dan lokasi produksi yang luas di dalam negeri. Dengan demikian, dukungan dalam negeri pada perekonomian Indonesia akan makin kuat dan perekonomian Indonesia tidak akan mudah digoyah olah krisis ekonomi global. Kebijakan pemerintah untuk memperhatikan ekonomi dalam negeri, terutama dengan mengintegrasikan perekonomian dalam negeri, merupakan upaya cerdas untuk menjaga agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada luar negeri.
Indonesia tidak perlu menolak perdagangan internasional, aliran modal asing, dan arus tenaga kerja.  Tapi, jangan menjadi amat tergantung pada mereka. Integrasi ekonomi dalam negeri juga berarti penyebaran kegiatan ekonomi, yang akan mengurangi kebutuhan orang untuk melakukan perjalanan yang jauh.
Integrasi ekonomi di Indonesia berarti adanya arus barang yang bebas di seluruh Indonesia, arus modal yang bebas di seluruh Indonesia, dan arus tenaga kerja (terampil dan tidak terampil) yang bebas di seluruh Indonesia. Pembangunan ekonomi di Indonesia akan lebih merata, tidak terpusat di beberapa daerah saja. Dengan demikian, Indonesia akan dapat bertahan lebih baik menghadapi gonjang-ganjing keuangan dan ekonomi dunia.
Namun, perhatian pada integrasi ekonomi dalam negeri sering dicurigai oleh pihak luar sebagai usaha proteksionis. Di zaman sekarang, “proteksionis” sering menjadi “tabu”di sementara pembuat kebijakan ekonomi dan politik di banyak negara. Mereka ini penganjur perdagangan bebas, arus bebas aliran modal, tetapi mereka memproteksi pasar tenaga kerjanya, khususnya pasar tenaga kerja tidak terampil.
Mereka juga mengatakan ingin membantu negara berkembang melalui penanaman modal mereka di negara berkembang walau sebenarnya mereka sangat diuntungkan dengan investasi tersebut. Mereka sering mengatakan bahwa investasi asing adalah satu-satunya cara bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk maju.
Perluasan investasi asing tersebut sesungguhnya penting sekali untuk kemajuan perekonomian mereka, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi global 2008-2009 yang memperlihatkan rapuhnya perekonomian suatu negara yang amat menggantungkan pada ekspor. Yang kurang disadari oleh beberapa negara asing itu adalah bahwa terintegrasinya ekonomi dalam negeri Indonesia akan berarti pula terjadinya manfaat yang lebih besar dari integrasi ekonomi internasional.
Kalau ekonomi Indonesia terintegrasi dengan baik, negara negara tetangga, di ASEAN khususnya, juga akan menikmati pasar yang jauh lebih besar dan lokasi produksi yang lebih tangguh. Selain itu, saat ini perekonomian Indonesia juga masih belum terintegrasi dengan baik. Bukan saja perekonomian antarprovinsi, juga di dalam provinsi itu sendiri. Bahkan juga di dalam tiap kabupaten atau kota itu sendiri.
Dengan integrasi semacam ini, semua sumber daya yang ada di Indonesia dapat digunakan bersama-sama untuk kepentingan orang Indonesia. Tanpa ada integrasi ekonomi yang baik di dalam Indonesia sendiri, kita akan kurang mampu mendapatkan manfaat dari integrasi ekonomi internasional. Suatu contoh, produksi pangan di Indonesia oleh negara yang lebih maju misalnya akan lebih banyak menghasilkan pangan untuk negara tersebut dan bukan untuk konsumen Indonesia kalau ekonomi Indonesia belum terintegrasi.
Kalau transportasi dari daerah produksi pangan tersebut ke negara penanam modal lebih mudah dan murah daripada ke bagian lain di Indonesia, pangan akan lebih menguntungkan dijual ke negara penanam modal daripada ke bagian lain di Indonesia.
Tetapi, kita perlu ingat bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan utama pembangunan ekonomi kita. Pertumbuhan ekonomi sekadar salah satu alat untuk mencapai tiga tujuan utama pembangunan yaitu people centered developmentenvironment friendly development,dan good governance. Dengan demikian, integrasi ekonomi harus mampu meningkatkan kualitas hidup manusia (seperti kesehatan, kepandaian, kemampuan untuk berpindah, dan bebas dari rasa takut), mampu memperbaiki kualitas lingkungan di Indonesia, dan mampu melaksanakan asas good governance dalam tiap kegiatan ekonomi.
Partisipasi masyarakat amat diperlukan untuk mengawasi jalannya pembangunan agar kegiatan ekonomi dapat membantu tercapainya tiga tujuan pembangunan di atas, dan bukan semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi.
Singkatnya, kita tidak perlu anti pada integrasi ekonomi internasional. Namun, kita tetap harus memberi prioritas pada usaha memperkuat ekonomi dalam negeri dan mengintegrasikan ekonomi dalam negeri. Hal ini juga akan mengurangi kerawanan perekonomian kita dari krisis

Reformasi Sektor Keuangan untuk Hadapi Krisis Global

Aris  Ananta PDFPrint
 SEPUTAR  INDONESIA,  Rabu, 19 Mei 2010
KALAU pemerintah Yunani bangkrut, tidak mampu membayar utang-utang mereka, negara lain, seperti Portugal, Spanyol, dan Italia pun akan ikut bangkrut.
Mengapa kebangkrutan dapat mewabah? Yunani mengalami defisit anggaran yang luar biasa. Meski tidak separah Yunani, Portugal, Spanyol, dan Italia juga mengalami defisit anggaran yang besar. Maka kalau Yunani bangkrut, kepercayaan para pemegang uang di negara yang serupa dengan Yunani juga akan hilang. Uang juga akan ditarik dari negara-negara tersebut sehingga akan memperparah defisit. Akibatnya ketiga negara itu pun dapat ikut bangkrut. Selain itu, karena Yunani banyak berutang ke kreditor di Jerman dan Prancis, kebangkrutan Yunani akan berdampak besar pada sektor keuangan di Jerman dan Prancis. Para pemilik uang pun akan tidak percaya lagi pada Prancis dan Jerman, bahkan seluruh Eropa. Sekarang pun nilai mata uang euro telah melorot dengan drastis, karena para pemilik uang sudah mulai tidak percaya pada euro.

Kalau Yunani akhirnya bangkrut, kasus ini serupa dengan kebangkrutan Lehman Brothers di Amerika Serikat pada 2008 lalu, yang berakibat pada terjadinya krisis keuangan global di tahun 2008–2009 silam. Kehilangan kepercayaan pemegang uang terhadap keuangan Eropa menyebabkan mengalirnya uang ke Asia, termasuk Indonesia. Rupiah dan mata uang Asia lainnya menguat. Bahkan pernah ada yang “mengkhawatirkan” rupiah akan terlalu kuat, menjadi di bawah Rp9.000 per dolar Amerika Serikat. Namun, banyak pula yang mengingatkan bahwa “kuat”-nya rupiah ini “semu” belaka.“Kepercayaan” para pemilik uang itu sangat mudah berubah. Begitu mereka khawatir dengan kondisi Indonesia, uang akan segera ditarik dan rupiah akan melemah.
Peran dan tingkah laku pemilik uang memang luar biasa. Terutama pada “kepercayaan” mereka terhadap kondisi keuangan suatu negara. Kalau kepercayaan mereka baik, akan membaiklah kondisi keuangan di negara tersebut. Kalau kepercayaan mereka hilang, jatuhlah kondisi keuangan di negara itu. Kalau kepercayaan para pemegang uang makin hilang, akhirnya kondisi keuangan dunia akan berantakan.
Sementara itu,kepercayaan para pemilik uang telah membuat masalah lain di beberapa negara di Asia, seperti China. Kepercayaan pada perekonomian dan stabilitas politik di China begitu besar. Apalagi pemerintah China pernah menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 10% per tahun.
Orang berlomba- lomba menanamkan uang mereka di China. Akibatnya, inflasi meningkat sehingga menyebabkan peningkatan spekulasi baik di sektor keuangan maupun properti. Kondisi semacam ini juga telah menjadi penyebab terjadinya krisis dari subprime mortgage di Amerika Serikat pada 2008 lalu. Ketika itu, juga terjadi kenaikan harga yang pesat di sektor properti. Orang yang “tidak layak (subprime)” berutang pun dapat meminjam ke bank dan bank pun berani memberikan pinjaman. Perhitungan mereka—baik pengutang dan bank—adalah harga properti akan meningkat terus dengan pesat. Maka kalaupun pengutang tak lagi mempunyai uang untuk membayar, rumah dapat dijual. Pengutang dan bank tetap untung. Namun, ketika harga properti tiba-tiba turun, orang panik. Orang menjual rumah dan harga rumah makin turun. Akibatnya, banyak orang rugi tidak dapat membayar utang karena harga rumah telah jatuh. Pemberi kredit juga berantakan.
Karena pemberi kredit saling berkaitan satu dan lain, akhirnya perusahaan keuangan sebesar Lehman Brothers pun bangkrut. Seluruh dunia, termasuk mereka yang tidak ikut berspekulasi di sektor keuangan dan sektor properti, terkena dampaknya. Panasnya ekonomi seperti yang dialami di China juga terlihat di beberapa negara lain, seperti Vietnam dan Singapura,walau dalam taraf yang berbeda. Mampukah negara negara ini menghindar dari terjadinya kasus seperti krisis subprime mortgage di Amerika Serikat?
Barack Obama, Presiden Amerika Serikat, rupanya telah letih dengan “kekuasaan” yang luar biasa dari pelaku bisnis di sektor keuangan, terutama bercokol di Wall Street. Kalau mereka optimistis, mereka memasukkan uangnya. Kalau mereka tidak suka pada suatu kebijakan di suatu negara, maka uang pun mereka tarik.
Obama telah melakukan perang terhadap pelaku sektor keuangan. Obama tidak ingin perekonomian amat dipengaruhi tingkah laku para pemilik uang. Ia melakukan revolusi dengan membatasi gerak-gerik para pemain uang, termasuk memisahkan sektor perbankan dari kegiatan spekulasi. Tentu saja, usaha ini mendapat tantangan dari pebisnis di sektor keuangan. Namun, Obama sangat tegas dan mengatakan pada para pebisnis bahwa mereka tidak perlu khawatir dengan reformasi yang ia jalankan, bila bisnis mereka bukan bisnis yang “menipu”masyarakat. Obama memang telah bertindak dengan sangat keras. Ia berani berbuat karena yakin akan mendapat dukungan dari masyarakat Amerika Serikat yang telah bosan dengan krisis keuangan di negara itu. Semoga saja, usaha Obama diikuti pemimpin di banyak negara lain.
Para pebisnis di sektor keuangan mungkin perlu melihat keadaan dunia secara lebih arif. Keuntungan mereka akan lebih berkelanjutan kalau mereka mengurangi secara drastis kegiatan spekulasi mereka. Kalau mereka terus bertahan dengan tingkah laku mereka ini, masyarakat pun akan sadar dan marah pada mereka. Lehman Brothers sekarang menghadapi persoalan hukum di Amerika Serikat. Di Indonesia, kita pun perlu secara aktif menyadarkan masyarakat akan bahaya permainan di sektor keuangan ini. Pemerintah perlu meningkatkan usaha membatasi kegiatan spekulasi, termasuk spekulasi di sektor properti.
Selain di sektor keuangan dan perbankan, usaha pun perlu dilakukan di sektor yang tampaknya bukan sektor keuangan. Kini banyak sektor perdagangan yang melakukan usaha keuangan dengan menjual barang secara kredit. Mereka mendapat keuntungan dari pinjaman dan bukan semata dari barang yang mereka jual. Makin banyak pula usaha untuk terus mendorong masyarakat agar mau meminjam dan meminjam. Bisnis semacam ini perlu diatur. Masyarakat jangan terus menerus dibujuk untuk meminjam, apalagi untuk tujuan konsumsi. Arus lalu lintas uang antarnegara juga perlu dipantau. Harus dicari cara agar kondisi ekonomi kita tidak bergantung pada kepercayaan para pemain spekulasi. Ini bukan pekerjaan mudah.
Kekuasaaan mereka—melalui uang—memang amat besar. Namun, kita harus berani melakukan hal ini. Bila tidak, krisis keuangan di satu wilayah di dunia akan dengan mudah merebak ke kita, apalagi dengan makin gencarnya usaha mengintegrasikan perekonomian (dan sistem keuangan) dunia.(*)

Investasi Asing, Ekspor, dan Pendapatan Nasional

Aris  Ananta
SEPUTAR    INDONESIA, 13  April  2010
Mengapa suatu negara tetap miskin dan sulit maju? Ada yang mengatakan bahwa agar suatu perekonomian maju, masyarakat di perekonomian itu harus mampu melakukan investasi. Namun, rakyat di negara miskin tidak punya tabungan.
Karena tidak mempunyai tabungan, mereka tidak dapat berinvestasi. Karena tidak dapat berinvestasi, mereka tetap miskin. Lingkaran seperti ini sering disebut dengan perangkap kemiskinan. Oleh sebab itu, menurut teori ini, cara keluar dari perangkap kemiskinan adalah mendatangkan investasi dari luar masyarakat itu sendiri. Artinya perlu investasi asing. Dengan masuknya investasi asing, kesempatan menaikkan pendapatan dan keluar dari kemiskinan dapat meningkat. Penyelesaian lain untuk keluar dari perangkap kemiskinan adalah melalui keluarga berencana. Keluarga di negara miskin biasanya mempunyai banyak anak.  Akibatnya, konsumsi terlalu tinggi, sehingga tak ada yang ditabung. Dengan keluarga berencana, pengeluaran untuk anak dapat dikurangi.

Selain itu, orangtua dapat lebih bebas bekerja untuk keluar dari kemiskinan.Kemudian, akan terjadi tabungan, dan tabungan dapat digunakan untuk investasi, sehingga keluar dari kemiskinan. Teori lain mengatakan, bahwa suatu perekonomian tetap miskin karena daya beli di masyarakat itu rendah. Mereka tidak berani berproduksi dalam jumlah yang besar, karena mereka tahu produksi mereka tidak akan dapat dijual di perekonomian mereka. Walau jumlah penduduk besar, menurut teori ini, kemiskinan menyebabkan keterbatasan pasar dalam negeri. Maka, penyelesaiannya adalah melakukan ekspor, menjual produksi dalam negeri ke negara lain yang ekonominya sudah maju. Negara yang disebut dengan “macan Asia” (Korea Selatan, Hong Kong,Taiwan, dan Singapura) sering disebut telah melakukan tiga kebijakan ini bersamaan.
Pada era 1980-an, dunia berdecak kagum pada kemajuan pesat dalam perekonomian mereka. Sejak saat itu, banyak negara yang ingin mengulangi kasus keberhasilan empat macan Asia ini, yakni keluarga berencana, investasi asing, dan ekspor. Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, kemudian telah berhasil dalam program keluarga berencana.Kemudian, ada kecenderungan investasi asing dan ekspor dianggap primadona dalam pembangunan ekonomi negara berkembang. Negara yang sudah maju pun sering mengajari negara berkembang tentang pentingnya investasi asing dan ekspor. Mereka sering mengatakan ingin membantu negara berkembang, maka mereka melakukan investasi di negara berkembang dan mendorong ekspor dari negara berkembang.
Kira-kira 30 tahun telah berlalu sejak munculnya kekaguman pada keberhasilan empat macan Asia itu. Kini muncul pertanyaan, benarkah investasi asing dan ekspor meningkatkan pendapatan nasional? Dalam ekonomi makro, ada rumus yang amat terkenal, yaitu bahwa pendapatan nasional sama dengan penjumlahan konsumsi (dalam negeri), investasi (dalam negeri), pengeluaran pemerintah, dan ekspor yang dikurangi dengan impor. Oleh sebab itu, jelas sekali menurut rumus ini, bahwa investasi dan ekspor menaikkan pendapatan nasional. Namun dalam ekonomi makro, kita juga belajar, bahwa ada dua macam pengukuran pendapatan nasional. Pertama adalah produk nasional kotor (gross national product/ GNP).
Konsep ini menjumlahkan pendapatan yan diterima semua warga negara Indonesia dalam suatu periode tertentu (biasanya setahun), tidak pandang mereka tinggal di Indonesia atau negara lain. Konsep GNP tidak memasukkan pendapatan orang asing yang bekerja di Indonesia. Konsep yang kedua adalah produk domestik kotor (gross domestic product/ GDP).Konsep ini menjumlah pendapatan semua penduduk yang tinggal di Indonesia, tidak pandang kewarganegarannya. Dengan demikian, dalam konsep GDP termasuk pendapatan yang diterima oleh orang asing yang bekerja di Indonesia. Selain itu, GDP tidak memasukkan pendapatan warga negara Indonesia yang bekerja di negara lain. Kalau tidak banyak orang asing bekerja di Indonesia, dan tidak banyak orang Indonesia bekerja di negara lain, pengukuran dengan dua konsep ini akan menghasilkan angka yang serupa.
Namun, dengan meningkatnya investasi asing dan orang asing yang bekerja di Indonesia, GDP bisa menjadi lebih besar daripada GNP. Artinya, investasi asing pasti meningkatkan GDP, tetapi belum tentu meningkatkan GNP. Investasi asing dapat meningkatkan GNP, jika investasi itu menciptakan pendapatan yang besar untuk orang Indonesia. Bagaimana kalau investasi asing itu dilakukan pada kegiatan yang berorientasi pada ekspor? Dampak pada GDP pasti akan lebih besar lagi, karena kenaikan ekspor berarti kenaikan pendapatan nasional, khususnya bila diukur dengan GDP. Namun, dampak pada GNP belum tentu besar, tergantung apakah kegiatan ekspor itu mampu meningkatkan pendapatan warga negara Indonesia. Jadi, apakah jumlah investasi asing dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan ekonomi kita?
Jawabnya tergantung pada bagaimana kita mengukur pendapatan nasional. Kalau kita mengukur pendapatan nasional dengan konsep GDP (gross domestic product), maka investasi asing pasti meningkatkan pendapatan nasional. Namun, jika pendapatan nasional diukur dengan GNP (gross national product), jumlah investasi asing belum tentu berdampak signifikan pada pendapatan nasional. Investasi asing baru berdampak signifikan bila warga negara Indonesia yang tinggal di Indonesia menikmati sebagian besar investasi asing itu. Perbedaan dalam memaknai investasi asing akan makin besar bila investasi asing itu berorientasi pada ekspor.
Selain perbedaan dalam konsep pengukuran pendapatan nasional (GNP atau GDP), peningkatan ekspor juga berarti bahwa barang yang diproduksi di Indonesia makin banyak memasuki pasar internasional, yang dijual dengan harga internasional dan biasanya jauh lebih mahal daripada pasar dalam negeri. Namun, penghasilan warga negara Indonesia sering belum dapat mengikuti harga internasional. Walau begitu, warga negara Indonesia harus membeli produksi Indonesia dengan harga internasional. Inilah fenomena “konsumen global dengan pendapatan lokal”. Akibatnya, mereka tak mampu membeli produksi Indonesia tersebut.
Selanjutnya, produk yang dijual di Indonesia adalah produksi yang mutunya lebih jelek, sehingga dapat dijual dengan lebih murah. Meski begitu, kita tidak perlu anti pada investasi asing dan promosi ekspor. Kita tetap memerlukan investasi asing dan peningkatan ekspor. Namun, kita perlu ingat bahwa investasi asing dan peningkatan ekspor bukanlah primadona pembangunan kita. Negara yang lebih maju melakukan investasi di Indonesia karena mereka melihat peluang bisnis yang menguntungkan untuk mereka, bukan karena mereka mau menolong kita. Mereka menginginkan Indonesia meningkatkan ekspor bukan karena mereka mau menolong kita, tetapi karena mereka ingin mendapatkan barang yang murah. Sudah saatnya kita berpikir jernih dalam menyikapi investasi asing dan peningkatan ekspor.
Sudah bukan saatnya mempunyai sikap antipati pada investasi asing dan peningkatan ekspor. Bukan waktunya lagi untuk percaya bulat bulat bahwa investasi asing dan peningkatan ekspor pasti meningkatkan pendapatan kita. Memang, menjadi susah untuk membuat keputusan. Tapi,itulah tantangannya. Saat ini, kita dan banyak negara lain di dunia, lebih sering menggunakan GDP. Tiap tiga bulan sekali kita melaporkan pertumbuhan GDP. Mungkin, sudah saatnya, tiap tiga bulan sekali, kita juga melaporkan perkembangan GNP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar