Senin, 14 Februari 2011

TRATEGI KEBIJAKAN EKONOMI INODNESIA: MUNGKINKAH KRISIS EKONOMI BERAKHIR?

TRATEGI KEBIJAKAN EKONOMI INODNESIA: MUNGKINKAH KRISIS EKONOMI
   BERAKHIR?
   

     _________________________________________________________________
   
    Pendahuluan
   
   Sampai pada periode paruh pertama tahun 1997, perekonomian Indonesia
   menunjukkan kinerja yang cukup baik yang ditandai dengan menguatnya
   beberapa indikator makro ekonomi. Pada tahun 1996 tercatat bahwa
   tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8% per tahun dan inflasi pada 5
   bulan pertama mampu mencapai tingkat yang terendah selama 10 tahun
   terakhir pada periode yang sama. Adapun investasi langsung luar negeri
   mencapai $ 6,5 juta pada tahun fiskal 1996/1997, cadangan devisa resmi
   pemerintah mencapai $20 juta pada bulan Maret 1997 (cukup untuk 5
   bulan impor), sementara tingkat depresiasi rupiah terhadap dolar
   Amerika terpelihara pada kisaran 3-5% ( Bank Indonesia, 1997).
   
   Perekonomian Indonesia kemudian mengalami perubahan mendadak setelah
   pada pertengahan tahun 1997 muncul masalah yang menghantam perdagangan
   valuta asing di kawasan Asia, yang diawali dengan guncangan pasar
   valuta asing di Thailand dan kemudian menjalar ke pasar valuta asing
   negara-negara lain termasuk Indonesia. Pada akhir periode tahun 1997,
   depresiasi riil nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai angka
   68.7% (IDE, 1999). Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
   tersebut tentunya berdampak negatif terhadap posisi neraca pembayaran,
   terutama karena jumlah utang luar negeri makin membengkak dimana pada
   tahun 1997 total stok utang luar negeri secara riil telah mencapai
   64,2% GDP dan membengkak menjadi 95,3% GDP (World Bank, 1999 diolah
   kembali).
   
   Pada saat keseimbangan eksternal tergangggu, terjadi pula
   ketidak-seimbangan internal. Kenaikan harga barang-barang sertamerta
   memperbesar angka inflasi. Pada akhir tahun 1997 angka inflasi
   mencapai 11,1% per tahun dan terus meningkat hingga mencapai 77,6% per
   tahun pada tahun berikutnya. Dalam kasus Indonesia, krisis nilai tukar
   mata uang rupiah terhadap dolar, terus menular ke sektor-sektor
   lainnya hingga menimbulkan krisis ekonomi. Pada akhir tahun 1997,
   pertumbuhan ekonomi tahunan (PDB riil) tercatat sebesar 4,7% sedang
   pada akhir tahun 1998 turun sebesar 13,2% (Bank Indonesia, 1999).
   
   Dalam usaha mengatasi krisis ekonomi, seyogyanya pemerintah harus
   bertindak hati-hati. Karena, selain ingin mencapai target stabilitas
   nilai tukar, masih ada beban pencapaian target lain seperti menjaga
   agar tingkat inflasi tetap rendah dan mempertahankan tingkat bunga
   agar tidak melambung tinggi. Sementara itu, penanganan masalah utang
   luar negeri juga masih belum jelas solusinya.
   
   Untuk memperbaiki kondisi perekonomian secara eksternal dan internal,
   pemerintah juga sepakat meminta bantuan Internasional Monetary Fund
   (IMF). Bantuan yang diberikan oleh IMF mencakup bantuan teknis dan
   bantuan dana yang tujuannya adalah mencapai stabilisasi inflasi dan
   defisit anggaran. Dengan masuknya campur tangan IMF, diharapkan
   langkah kebijaksanaan pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi
   semakin terarah dan tidak hanya menekankan pada kebijaksanaan moneter,
   tetapi juga kebijaksanaan fiskal; dan yang terpenting adalah
   kebijaksanaan sektor riil melalui penyesuaian secara struktural
   (structural adjustments).
   
   Krisis ekonomi bisa muncul sebagai dampak negatif dari kebijakan
   ekonomi yang kemudian diperburuk oleh kondisi perekonomian dunia.
   Pengalaman negara-negara berkembang yang mengalami krisis ekonomi pada
   dekade 80-an membuktikan bahwa perubahan harga dunia seringkali
   menyebabkan munculnya defisit dalam neraca pembayaran (balance of
   payment) suatu negara, dan pengeluaran yang berlebihan akan mendorong
   inflasi, dalam kondisi produksi juga mengalami kemacetan (Krueger,
   1995).
   
   Secara teoretis, kebijakan ekonomi di negara-negara sedang berkembang
   muncul karena adanya asumsi bahwa pasar gagal melaksanakan fungsinya
   (market failure) sehingga dibutuhkan intervensi pemerintah. Namun
   menurut Weiss (1995), jika kebijakan pemerintah tersebut tidak
   diarahkan dengan baik maka justru akan mendorong munculnya kegagalan
   pemerintah (government failure).
   
   Benarkah anggapan bahwa krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia
   merupakan dampak negatif dari kebijakan ekonomi yang kemudian
   menimbulkan ketidakseimbangan internal dan eksternal? Bagaimana peran
   IMF dengan paket-paket standarnya dapat mengatasi krisis ekonomi? Apa
   implikasi kebijakan IMF bagi perekonomian Indonesia? Bersumber dari
   pertanyaan-pertanyaan inilah maka tulisan ini akan diawali dan
   diharapkan menjadi bahasan yang sangat menarik untuk diteliti. Secara
   spesifik, tulisan ini akan membahas krisis ekonomi dalam kerangka
   teoretis Two Gap Model yang kemudian dikaitkan dengan peran IMF dalam
   mengatasi krisis dengan paket stabilisasinya sebagaimana yang telah
   dilakukan di berbagai negara lain. Tulisan ini akan ditutup dengan
   pembahasan tentang implikasi program IMF terhadap kebijakan ekonomi
   Indonesia.
   
   Utang Luar Negeri: Tinjauan Teoretis atas Kesenjangan Tabungan dan
   Investasi
   
   Pembahasan tentang utang luar negeri dalam artikel ini akan dijelaskan
   dengan kerangka teori Two Gap Model yang menunjukkan bahwa defisit
   pembiayaan investasi swasta terjadi karena Tabungan lebih kecil dari
   Investasi (I-S = resource gap), dan defisit perdagangan disebabkan
   karena Ekspor lebih kecil dari Impornya (X-M = trade gap). Disamping
   itu, masih ada defisit dalam anggaran pemerintah karena penerimaan
   pemerintah dari pajak lebih kecil dari pengeluaran pemerintah (T-G =
   fiscal gap). Hubungan antara defisit investasi swasta , defisit
   anggaran pemerintah, dan defisit perdagangan dapat dijelaskan sebagai
   berikut:
   
   Pendapatan nasional (Y) dari sisi pengeluaran merupakan penjumlahan
   dari Pengeluaran Konsumsi Swasta (C),
   
   Pengeluaran Investasi swasta (I), Pengeluaran Pemerintah (G) dan
   Ekspor bersih (X-M) atau:
   
     Y = C + I + G + X - M ............. (1)
     
   Pendapatan nasional (Y) dari sisi alokasi penggunaan merupakan
   penjumlahan dari Konsumsi masyarakat (C), Tabungan (S) dan Pajak (T)
   atau:
   
     Y = C + S + T ......................... (2)
     
   Dari persamaan (1) dan (2) akan menghasilkan persamaan identitas
   defisit, yaitu bahwa defisit Perdagangan (X-M) sama dengan defisit
   Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah (T-G) ditambah defisit Tabungan
   dan Investasi Swasta (S-I) atau:
   
     (X-M) = (T-G) + (S-I) ............. (3)
     
   Untuk persamaan (3) bisa saja terjadi hubungan kausal dalam arti jika
   terjadi ketidakseimbangan internal yakni pada sektor pemerintah
   dan/atau sektor swasta, akan mengganggu keseimbangan eksternal yakni
   pada sektor perdagangan. Jika diasumsikan bahwa ekspor dan impor
   mencakup barang dan jasa, maka pengertian defisit perdagangan akan
   lebih diarahkan pada defisit dalam transaksi berjalan.
   
   Dengan kerangka Two Gap Model di atas tersirat bahwa bila suatu negara
   berada dalam keadaan dimana neraca transaksi berjalannya mengalami
   ketidakseimbangan, maka dibutuhkan aliran modal masuk (capital
   inflows). Namun, jika suatu negara yang menghadapi masalah defisit
   neraca transaksi berjalan dan menggunakan aliran modal masuk sebagai
   jalan keluarnya, maka seharusnya negara tersebut juga menyiapkan
   kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk menurunkan defisit tersebut.
   Semakin banyak restriksi dan kontrol, akan semakin sulit bagi suatu
   negara untuk menurunkan defisit. Jika suatu negara sudah melakukan
   tight money policy, menerapkan kebijaksanaan fiskal dan melakukan
   kontrol atas tarif dan impor, tetapi masih mengalami defisit neraca
   pembayaran, maka akan semakin sulit mengatasinya (Sodersten, 1980).
   
   Pinjaman luar negeri akan menimbulkan masalah jika dana tersebut tidak
   diinvestasikan secara produktif untuk kegiatan-kegiatan yang
   menghasilkan tingkat pengembalian devisa yang tinggi untuk menutupi
   pembayaran bunga. Krisis utang dunia yang terjadi pada dekade 80-an
   menjadi bukti bahayanya pembiayaan melalui utang luar negeri dimana
   banyak negara terpaksa menunda kewajiban membayar utang (Weiss, 1995).
   
   Pengaruh eksternal bukan satu-satunya penyebab krisis, kebijaksanaan
   pemerintah yang tidak terarah juga bisa dianggap mempunyai pengaruh
   terhadap krisis ekonomi (Gillis et.al, 1996). Gairah untuk mencapai
   tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang banyak mempengaruhi
   kebijaksanaan pemerintah melalui peningkatan pengeluaran pemerintah,
   sehingga menimbulkan defisit anggaran yang semakin membesar. Dalam
   kondisi perekonomian yang tidak stabil, investor swasta menanamkan
   dananya pada usaha-usaha nonproduktif, seperti tanah, atau
   menginventasikannya di luar negeri yang menimbulkan defisit eksternal.
   
   Kebijakan Ekonomi dan Pengalaman Negara-negara Berkembang yang
   Tertimpa Krisis Ekonomi
   
   Era tahun 1980-an merupakan masa-masa sulit bagi beberapa negara
   berkembang di dunia. Diawali dengan kenaikan harga minyak tahun 1979,
   perekonomian dunia mengalami resesi yang disertai dengan penurunan
   harga barang, kenaikan tingkat bunga dan kontraksi perdagangan
   internasional. Hal-hal tersebut menyebabkan menurunnya kemampuan
   negara-negara untuk membayar utang, sehingga timbul krisis utang
   dunia. Krisis utang ini kemudian menurunkan pertumbuhan ekonomi dan
   meningkatkan debt service ratio. Krisis muncul karena adanya dampak
   dari kebijaksanaan ekonomi, walaupun juga diperburuk oleh kondisi
   perekonomian dunia (Krueger, 1995).
   
   Mexico pada tahun 1982 merupakan negara pengekspor minyak, sejak 10
   tahun sebelumnya penerimaan dari minyak terus meningkat. Namun,
   peningkatan penerimaan tersebut diiringi juga dengan peningkatan utang
   luar negeri, akibatnya muncul ketidakseimbangan dalam neraca
   pembayaran. Kelemahan pemerintah Mexico adalah terus meningkatkan
   pengeluarannya dan mengabaikan produktivitas. Krisis muncul sebagai
   akibat kekeliruan dalam kebijakan ekonomi yang kemudian didukung oleh
   kondisi perekonomian dunia yang memburuk.
   
   Lain halnya dengan Turki yang melakukan program reformasi ekonomi pada
   awal tahun 1980, setelah GDP riil diperkirakan akan menurun selama
   lebih dari 2 tahun dan inflasi mencapai lebih dari 100% per tahun.
   Namun, pembatasan impor terutama bahan bakar minyak menyebabkan
   problem transportasi, distribusi hasil panen terganggu dan
   pabrik-pabrik yang mengandalkan bahan baku impor terpaksa menurunkan
   kapasitasnya hingga 50%.
   
   Pada tahun 1984, produksi dan ekspor coklat Ghana menurun drastis
   bersamaan dengan peningkatan laju inflasi yang mencapai lebih dari
   100%, ke-kurangan devisa men-capai ting- kat yang kronis, standar
   kehidupan pun menu-run tajam. Tahun 1987-1988, Peru me-ngalami
   penurunan GNP riil sekitar 10%, sedangkan inflasi mencapai 3500% per
   tahun. Argentina juga menghadapi besarnya defisit neraca pembayaran
   dan defisit fiskal.
   
   Krueger (1995) melihat adanya kesamaan diantara negara-negara yang
   terkena krisis, pada umumnya kebijaksanaan ekonomi di negara-negara
   tersebut berorientasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
   (rapid economic growth), tetapi iklim perekonomian yang ada tidak
   diciptakan untuk mendukung ke arah itu. Contoh konkretnya adalah
   negara yang melakukan restriksi impor lebih banyak disebabkan karena
   sebagaian besar kinerja perusahaan-perusahaan domestik tidak efisien,
   harga barang-barang di dalam negeri terdistorsi sehingga tidak
   memiliki daya saing di pasar internasional. Terbatasnya tabungan
   domestik dan adanya peluang untuk memanfaatkan sumber dana dari luar
   negeri menyebabkan pemerintah maupun investor swasta terlalu
   mengandalkan pinjaman luar negeri dalam rangka membiayai investasinya.
   Dalam jangka pendek, pemanfaatan tabungan luar negeri tersebut tidak
   menimbulkan dampak inflasi, tetapi dalam jangka panjang akan
   menimbulkan masalah yang serius dalam suplai uang domestik. Investasi
   pemerintah umumnya dilakukan untuk membangun infrastuktur untuk
   mendukung investasi swasta, tetapi jika investasi tersebut tidak
   menghasilkan tingkat pengembalian yang layak, sementara tingkat bunga
   utang luar negeri tetap harus dibayar akan memberi tekanan untuk
   meningkatkan suplai uang.
   
   Paket Reformasi Ekonomi IMF
   
   IMF dan Bank Dunia merupakan lembaga yang muncul sebagai hasil
   beberapa konferensi yang bertujuan untuk membangun dan mengelola
   perekonomian pasca perang dunia kedua. IMF dirancang untuk membantu
   negara-negara anggota mencapai stabilitas moneter dengan menghindari
   devaluasi kecuali dalam keadaan darurat, dan meningkatkan perdagangan
   bebas dengan memberikan pinjaman jangka pendek untuk negara-negara
   yang mengalami masalah neraca pembayaran. IMF merupakan counterpart
   dari GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang targetnya
   adalah mendorong negosiasi penurunan hambatan perdagangan. Tidak
   seperti Bank Dunia, IMF pada hakikatnya bukan lembaga bantuan, hanya
   merupakan kumpulan negara-negara donor. Negara anggota memiliki kuota
   untuk sejumlah dana tergantung besarnya ukuran perekonomian dan negara
   anggota diijinkan untuk menarik dana cadangan.
   
   Menurut Reynolds (dalam Osterfeld, 1992), setelah adanya krisis Mexico
   tahun 1982, IMF membuat paket standar yang merupakan policy
   requirement sebagai syarat untuk menerima bantuan pinjaman, yakni:
   
    1. melakukan devaluasi mata uang untuk mengatasi masalah neraca
       pembayaran;
    2. membatasi jumlah kredit dan menurunkan defisit sektor publik, yang
       keduanya bertujuan untuk menahan inflasi dengan menurunkan
       permintaan domestik;
    3. menghilangkan restriksi dalam perdagangan luar negeri dan
       perpindahan modal (capital movements) yang ditujukan untuk
       mendorong pertumbuhan ekonomi melalui perdagangan.
       
   Program stabilisasi IMF menunjukkan respons terhadap adanya
   ketidakseimbangan perekonomian secara makro (Weiss, 1995). IMF melalui
   paket bantuan teknisnya menekankan pada upaya mengawasi suplai kredit
   domestik, utamanya adalah membatasi kredit domestik. Pembatasan
   pertumbuhan suplai uang bertujuan untuk memperbaiki neraca pembayaran
   (menurunkan ketidakseimbangan eksternal) dan menurunkan inflasi
   domestik (menurunkan ketidak-seimbangan internal). Model ini
   menggunakan asumsi bahwa neraca pembayaran merupakan fenomena moneter,
   karena uang yang beredar di dalam negeri dapat berasal dari luar
   (cadangan devisa) atau dalam negeri (kredit domestik), sehingga
   analisis akan didasarkan pada hubungan antara kedua komponen dalam
   penawaran uang tersebut.
   
   Berdasarkan definisi, stok uang domestik (D Ms) merupakan penjumlahan
   dari perubahan cadangan devisa (D R) dan kredit domestik (D D),
   sehingga:
   
     D Ms = D R + D D ............... (4)
     
   Perubahan permintaan uang (D Md) merupakan fungsi dari perubahan dari
   pendapatan nominal (D Y) maka:
   
     D Md = k. D Y ............... (5)
     
   dimana k = 1/v dan v adalah kecepatan perputaran uang.
   
   Dalam kondisi keseimbangan, permintaan uang = penawaran uang dengan
   demikian:
   
     D Ms = D Md ............... (6)
     
   Dengan mengkombinasikan persamaan (5) dan (6) maka:
   
     D R = k. D Y - D D .............. (7)
     
   Persamaan (7) menunjukkan bahwa cadangan devisa ditentukan berdasarkan
   selisih antara perubahan permintaan uang domestik dan perubahan kredit
   domestik. Implikasinya adalah setiap ada kelebihan ekspansi moneter
   maka perusahaan dan rumah tangga akan mengeluarkan kelebihan money
   balances-nya. Jika pengeluaran tersebut adalah untuk barang-barang
   yang tidak diperdagangkan (non traded goods) maka akan meningkatkan
   tingkat harga, tetapi jika pengeluaran tersebut untuk barang-barang
   yang diperdagangkan (traded goods) akan menurunkan cadangan devisa.
   
   Model ini kemudian dapat diperluas dengan menghubungkan antara
   ekspansi kredit dalam negeri dengan pengeluaran agregat. Pengeluaran
   domestik (C+I+G) seperti pada persamaan (1) biasa dinyatakan sebagai
   absorpsi domestik (A), sementara itu pengeluaran total (E) merupakan
   penjumlahan antara pengeluaran domestik (A) dengan Ekspor-Impor (X -
   M) sehingga:
   
     E = A + (X - M) ........... (8)
     
   Berdasarkan definisi, pendapatan nasional (NI) = pengeluaran total (E)
   atau NI = E maka:
   
     NI - A = X - M ............... (9)
     
   Current Account mencapai keseimbangan jika terjadi perubahan cadangan
   devisa (DR) dan perubahan arus modal masuk (DF), maka:
   
     X - M = DR - DF............ (10)
     
   Dengan mensubstitusikan persamaan (7 ) ke persamaan (10) maka:
   
     X - M = (k. D Y - D D) - DF .......(11)
     
   Kemudian mengkombinasikan persamaan (9) dengan persamaan (11)
   diperoleh:
   
     NI - A + DF = D Md - D D ...... (12)
     
   Perubahan dalam pendapatan nominal (DY) dapat dipecah menjadi efek
   pendapatan riil dan perubahan harga yakni:
   
     DY = y DP + P Dy ........ (13)
     
   dimana y adalah pendapatan riil dan P adalah tingkat harga.
   
   Dengan mensubstitusikan persamaan (13) ke persamaan (7) maka
   diperoleh:
   
     DR = k (y DP + P Dy) - DD ....... (14)
     
   atau
   
     DD = k y DP + k y Dy - DR ....... (15)
     
   Persamaan (15) menunjukkan bahwa perubahan dalam jumlah kredit akan
   mempengaruhi harga, pendapatan riil dan neraca pembayaran. Jika
   perubahan pendapatan = 0 maka tidak akan ada output yang hilang karena
   adanya restriksi kebijakan moneter. Kelemahan dari model dengan laju
   pertumbuhan ekonomi = 0 ini masih dianggap tidak realistik, karena
   dampak pengetatan moneter terhadap pendapatan riil akan menurunkan
   pengeluaran konsumen secara agregat, serta akan meningkatkan biaya
   modal kerja sebagai akibat dari meningkatnya suku bunga dan menurunnya
   investasi swasta.
   
   Gillis et.al. (1996) juga memandang bahwa program IMF merupakan paket
   stabilisasi inflasi dan defisit anggaran. Tujuan utama program ini
   adalah menurunkan defisit anggaran pemerintah dan membatasi kredit
   domestik yang membawa pengaruh pada pertumbuhan penawaran uang. Kedua
   kebijakan tersebut menurunkan tingkat absorpsi perekonomian dan
   menggeser ke posisi yang mendekati keseimbangan eksternal dan
   internal.
   
   Pada Gambar 1 ditunjukan bahwa pada titik 1 suatu negara mengalami
   ketidakseimbangan eksternal dan internal. Titik 2 adalah kondisi
   terciptanya kesimbangan eksternal dan internal dimana kurva IB
   (Internal Balance) memotong kurva EB1 (External Balance) yakni pada
   tingkat Absopsi A2 dan tingkat nilai tukar riil P2. Paket pemulihan
   ekonomi IMF berupaya menurunkan tingkat absorpsi agar menjauhi titik 1
   dan mendekati titik kese-imbangan eksternal dan internal. Paket
   bantuan teknis IMF ini juga dapat disertai dengan devaluasi nilai
   tukar mata uang secara riil (real exchange rate = e), yang
   keputusannya tergantung seberapa jauh letak titik 1 terhadap titik 2.
   Paket bantuan IMF ditunjukkan dengan upaya menurunkan absorpsi (DA)
   yang disertai pula dengan devaluasi nilai tukar mata uang (D e).
   Selain bantuan teknis, IMF juga memberikan bantuan dana yang tidak
   hanya berasal dari IMF itu sendiri tetapi juga dari Bank Dunia atau
   negara-negara donor lainnya. Bantuan dana tersebut bertujuan untuk
   meningkatkan kapasitas perekonomian untuk membeli barang-barang yang
   dapat diper-dagangkan (tradeables) yang akan menggeser kurva EB ke EB2
   dan mengubah keseimbangan pada titik 3, yakni titik keseimbangan
   eksternal dan internal yang baru. Pada Gambar 1 terlihat bahwa de-ngan
   ada- nya dana bantuan maka akan menurun-kan upaya penghe-matan yang
   mana ting-kat absorp- si adalah pada A3 bukan A2 , dan mengurangi
   kebutuhan untuk melakukan devaluasi nilai tukar. Walaupun tidak
   tertutup kemungkinan bahwa devaluasi tetap dilakukan sebagai syarat
   untuk mencapai titik 3.
   
                           wpe1.jpg (12957 bytes)
   
   Analisis Utang Luar Negeri Indonesia
   
   Gairah negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam beberapa
   tahun terakhir untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi agar
   tetap tinggi melalui peningkatan Investasi mendorong peningkatan
   kebutuhan sumber dana dari luar negeri. Alasan mendasar dibutuhkannya
   utang luar negeri adalah karena tabungan domestik tidak mencukupi,
   yang menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk memobilisasi dana
   domestik sejak tahun 1983 tidak pernah mampu mengimbangi besarnya
   kebutuhan dana untuk investasi. Kesenjangan antara tabungan dalam
   negeri baik pemerintah dan swasta, menyebabkan utang luar negeri dan
   penanaman modal asing merupakan suatu "keharusan" bagi pembiayaan
   investasi.
   
   Bank Dunia membuat proyeksi bahwa dalam periode tahun 1994-2000
   walaupun kesenjangan Tabungan-Investasi pemerintah cenderung terus
   mengecil, kesenjangan Tabungan-Investasi swasta cenderung membesar.
   Gambar 2 dan 3 berikut ini memberi petunjuk adanya kesenjangan antara
   Tabungan dan Investasi (Saving-Investment Gap) yang dinyatakan sebagai
   persentase dari Produk Domestik Bruto (GDP), baik pemerintah maupun
   oleh swasta.
   
                           wpe3.jpg (11066 bytes)
   
   
                           wpe4.jpg (12740 bytes)
   
   Utang luar negeri pemerintah dibutuhkan untuk membiayai defisit
   anggaran. Di dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
   (APBN), Total Penerimaan adalah Penerimaan Dalam Negeri ditambah
   dengan Penerimaan Pembangunan; sedangkan Total Pengeluaran adalah
   Pengeluaran Rutin ditambah dengan Pengeluaran Pembangunan. Anggaran
   pemerintah yang menunjukkan defisit menunjukkan bahwa kekurangan dana
   pembangunan (Pengeluaran Pemerintah) ditutup dengan utang luar negeri
   (Penerimaan Pembangunan). Perkembangan utang luar negeri pemerintah
   menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Sekalipun pada
   tahun-tahun sebe- lum krisis ekonomi terjadi keli-hatannya Indonesia
   tidak mem-punyai masalah dalam creditworthy yang tercermin dari makin
   meningkatnya utang luar negeri, pembiayaan defisit anggaran defisit
   investasi swasta melalui foreign borrowing tidak lepas dari bahaya.
   Utang menjadi beban dalam jangka panjang sehingga dibutuhkan devisa
   dalam jumlah besar untuk menjamin bahwa bunga dan cicilan utang
   tersebut dapat dibayar.
   
   Tingginya tingkat bunga di dalam negeri mendorong para investor swasta
   untuk mencari dana luar negeri yang dianggap "murah". Besarnya utang
   luar negeri swasta semakin membengkak seiring dengan meningkatnya
   Investasi. Sementara itu para investor swasta dalam melakukan
   peminjaman dana luar negeri tidak mempertimbangkan fundamental ekonomi
   makro yang sesungguhnya telah memberi isyarat kurang baik seperti
   defisit neraca transaksi berjalan yang menunjukkan peningkatan dari
   tahun ke tahun. Kemungkinan munculnya ancaman dari luar (external
   shocks) seperti perubahan nilai tukar mungkin juga tidak disadari
   sejak awal. Dana yang dipinjam pihak swasta pada umumnya menggunakan
   tingkat bunga komersial yang jelas lebih tinggi dari tingkat bunga
   pinjaman pemerintah dan jangka waktu yang relatif lebih pendek. Namun
   ada kelemahan dari sistem devisa bebas yang dianut, yaitu pemerintah
   tidak bisa memperoleh data akurat mengenai besarnya pinjaman swasta
   karena tidak adanya kewajiban melapor. Dengan total utang sebesar US$
   109.3 miliar pada akhir tahun 1996/97 dimana 51,2% diantaranya adalah
   utang swasta sudah cukup untuk membuat perekonomian terganggu bila
   terjadi external shocks dalam bentuk depresiasi nilai tukar. Sementara
   cadangan devisa resmi yang dimiliki oleh pemerintah hanya mencapai
   sekitas US $ 20 miliar (Bank Indonesia 1996/97).
   
   Secara umum kondisi neraca pembayaran mencerminkan aktivitas
   permintaan dan penawaran devisa. Pembiayaan transaksi berjalan dapat
   dilakukan dengan (a) perubahan aktiva luar negeri neto dan (b)
   perubahan pasiva luar negeri neto. Perubahan aktiva neto berarti
   pertambahan aktiva luar negeri dan aliran modal masuk jangka panjang.
   Pertambahan aktiva luar negeri menjadikan bertambahnya cadangan devisa
   resmi, bertambahnya cadangan devisa bank komersial, dan pelarian
   modal. Sedangkan perubahan pasiva luar negeri berarti perubahan utang
   luar negeri, pencairan utang-utang luar negeri, dan perubahan cicilan
   pokok utang luar negeri. Berarti utang luar negeri dan penanaman modal
   asing jangka pendek (Foreign Direct Investment = FDI dan portfolio)
   merupakan sumber dana untuk membiayai defisit neraca berjalan,
   kebutuhan untuk menambah devisa, dan arus modal keluar.
   
     Tabel 1. Sumber dan Penggunaan Dana Luar Negeri (milyar dolar AS)
   
   wpe8.jpg (23437 bytes)
   
   Berdasarkan data pada Tabel 1 di atas, Bank Dunia sudah
   memperhitungkan bahwa perkiraan defisit transaksi berjalan Indonesia,
   termasuk pembayaran bunga utang luar negeri, seluruhnya dibiayai oleh
   Aliran Modal Masuk. Dengan demikian, pembayaran cicilan pokok utang
   luar negeri dibiayai sepenuhnya oleh utang baru bukan dari ekspor
   neto. Adapun bagian dari utang luar negeri yang digunakan untuk
   menambah cadangan devisa tidak dapat digunakan untuk meningkatkan
   kapasitas perekonomian, padahal bunga utang tersebut harus terus
   dibayar.
   
   Berbaurnya antara kerapuhan fundamental ekonomi Indonesia yang
   ditandai dengan peningkatan defisit transaksi berjalan dan perubahan
   lingkungan ekonomi dunia dapat dijadikan alasan sebagai faktor yang
   mendorong timbulnya krisis ekonomi. Defisit transaksi berjalan yang
   terus meningkat yang dibiayai oleh aliran modal asing memaksa kita
   untuk terus meningkatkan ketergantungan dana pada pihak asing.
   Sementara upaya memobilisasi dana dalam negeri tidak didukung oleh
   sektor keuangan yang efisien. Adanya peluang untuk memperoleh pinjaman
   luar negeri pun tidak diimbangi dengan pe-ningkatan produksi barang
   yang diper-dagangkan. Hal ini me-nunjukkan bahwa dana luar negeri
   tersebut tidak diiinvestasikan pada sektor-sektor yang menghasilan
   tingkat pengembalian devisa yang tinggi untuk menutupi pembayaran
   bunga dan cicilan utang. Ekspor barang dan jasa pada harga konstan
   pada tahun 1996/97 diperkirakan mencapai 110.057,9 miliar rupiah,
   meningkat 6.2% dari tahun sebelumnya. Sementara, impor barang dan jasa
   mencapai 131.659,9 miliar rupiah meningkat 9.6% dari tahun sebelumnya.
   
   Dampak dari pesatnya aliran modal asing sudah terlihat pada laju
   inflasi yang cenderung meningkat, dan asumsi bahwa dalam jangka
   panjang aliran modal asing akan menyebabkan perkonomian mengalami
   overheating terbukti. Sementara kekeringan yang berkepanjangan pada
   periode sebelumnya juga akan memaksa harga-harga bahan pangan, yang
   merupakan komponen utama inflasi, mengalami kenaikan.
   
   Paket Pemulihan Ekonomi IMF dan Implikasi Kebijaksanaan
   
   Paket bantuan yang akan diberikan kepada Indonesia untuk mengatasi
   krisis ekonomi merupakan upaya menstabilkan keseimbangan eksternal dan
   internal, baik melalui bantuan teknis maupun bantuan dana. Reformasi
   yang diisyaratkan oleh IMF tersebut seharusnya dituangkan dalam
   berbagai kebijaksanaan yang sifatnya konsisten tetapi realistis.
   
   Paket bantuan teknis IMF berupaya mengawasi suplai kredit domestik
   untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan, yang berarti memperbaiki
   ketidakseimbangan eksternal. Sedangkan upaya stabilisasi harga dapat
   diartikan sebagai langkah perbaikan ketidakseimbangan internal. Asumsi
   yang digunakan oleh IMF adalah perubahan jumlah uang beredar
   ditentukan oleh jumlah perubahan cadangan devisa dan perubahan kredit
   domestik. Cadangan Devisa pemerintah yang dinyatakan bernilai sekitar
   20 milyar dolar AS dengan demikian ditentukan oleh besarnya selisih
   antara perubahan permintaan uang domestik dan perubahan kredit
   domestik. Dengan adanya ekspansi moneter, perusahaan dan rumah tangga
   akan mengeluarkan kelebihan uangnya yang diasumsikan hanya diarahkan
   untuk membiayai barang-barang yang diperdagangkan (tradeable goods),
   bukan untuk barang-barang yang tidak diperdagangkan (non tradeable
   goods). Dana bantuan IMF yang akan diberikan kepada pemerintah
   Indonesia pun seyogyanya untuk meningkatkan kapasitas perekonomian
   melalui pembelian barang-barang yang diperdagangkan.
   
   Dengan adanya bantuan teknis dan bantuan dana dalam bentuk devisa dari
   IMF, seharusnya dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin mengingat
   krisis yang berkepanjangan akan membawa dampak negatif bagi semua
   pihak. Kesejahteraan rakyat akan menurun drastis melalui peningkatan
   inflasi. Padahal, dalam kondisi perekonomian yang lesu pengangguran
   meningkat, dan di pihak lain kepercayaan dunia terhadap perekonomian
   Indonesia juga akan menurun, yang membawa dampak pula bagi
   kelangsungan investasi di Indonesia.
   
   Reformasi kebijaksanaan yang harus dilakukan oleh pemerintah bersama
   rakyat semestinya mengacu tahap (sequence) yang pernah dikembangkan
   berdasarkan Harberger Rules, Washington Concensus dan Structuralist
   Synthesis yang pada prinsipnya adalah sebagai berikut:
    1. Kebijaksanaan yang ditujukan untuk menstabilkan perekonomian
       secara makro terutama dalam penurunan defisit anggaran pemerintah,
       penanggulangan inflasi dan penyesuaian nilai tukar.
    2. Reformasi dalam pasar barang dan pasar tenaga kerja dengan
       menghilangkan sumber distorsi harga seperti pengontrolan atas
       harga dan upah serta menghilangkan subsidi.
    3. Reformasi pajak yang mendorong peningkatan sumber penerimaan dalam
       negeri tanpa menurunkan kesejahteraan rakyat miskin.
    4. Reformasi Perdagangan yang menghilangkan kuota dan penurunan
       tarif, serta pencabutan perlakuan-perlakuan khusus bagi
       perusahaan-perusahaan tertentu.
    5. Liberalisasi keuangan domestik dengan menghilangkan restriksi
       dalam kegiatan bank-bank komersial yang mendukung berjalannya
       sektor keuangan yang efisien.
    6. Liberalisasi keuangan eksternal dengan menghilangkan kontrol atau
       segala bentuk hambatan aliran modal asing untuk tujuan investasi.
       
   Penutup
   
   Utang luar negeri dan penanaman modal asing dibutuhkan untuk membiayai
   investasi pemerintah (G) dan swasta (I) yang kebutuhan dananya tidak
   dapat disediakan dari mobilisasi dana dalam negeri, baik yang
   bersumber dari pajak (T) maupun tabungan masyarakat (S). Investasi
   yang dilakukan oleh pemerintah terutama swasta terus meningkat.
   Sementara, besarnya pajak (T) dan tabungan domestik (S) yang tidak
   mampu mengimbanginya menimbulkan dampak pada defisit investasi swasta
   (I-S) dan defisit anggaran pemerintah (T-G). Di samping itu, defisit
   neraca berjalan (X-M) juga terkena dampaknya melalui pengelolaan utang
   yang tidak bijaksana.
   
   Krisis ekonomi muncul sebagai dampak dari kebijaksanaan yang tidak
   terarah disamping dipengaruhi juga oleh situasi perekonomian dunia.
   Program stabilisasi perekonomian dengan model IMF bisa memberikan
   dampak positif dalam upaya pemulihan apabila dilakukan dengan
   konsisten dan realistis. Namun, program tersebut bisa juga membawa
   dampak negatif bila asumsi-asumsi yang mendasari program tersebut
   terabaikan. Berbagai implikasi kebijakan dari masuknya program IMF
   menuntut agar reformasi dilaksanakan secara total dengan memperbaiki
   stabilitas ekonomi makro serta menghilangkan hambatan-hambatan di
   keuangan, perdagangan dan investasi.
   
   Referensi
   
   Bank Indonesia. (1997). Laporan Tahunan.
   
   Bank Indonesia. (1999). Laporan Tahunan.
   
   Gillis, et.al. (1996). Economics of Development 4th ed. New York: WW
   Norton Company.
   
   IDE. (1999). Asian Economics Crisis 97/98 Issues in Macroeconomic
   Imbalances, Capital Outflows and Financial Crisis. March. Tokyo:
   IDE-Jetro.
   
   Kruger, A. (1995). Political Economy of Policy Reform in Developing
   Countries. Massachusetts: MIT Press.
   
   Osterfeld, D. (1992). The World Bank and the IMF: Misbegotten Sisters
   dalam Peter J. Boettke (ed.). The Collapse of Development Planning.
   New York: New york university Press.
   
   Sodersten, B. (1980). International Economics. 2nd ed. New York: St.
   Martin Press.
   
   Weiss, J. (1995). Economic Policy in Developing Countries: The Reform
   Agenda. London: Prentice Hall Harvester Wheatsheaf.
   
   World Bank. (1997). Indonesia: Sustaining Growth with Equity. Report #
   16433 - IND. World Bank Country Department III. East Asia and Pacific
   Region.
   
   World Bank. (1999). Global Development Finance.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar